Dia mulai merasa kedinginan. Sambil mengeratkan pelukan tangan ke badan, berharap akan mendapat sedikit kehangatan. Seandainya saat seperti ini ada orang yang memakaikan selimut, pasti aku akan bahagia sekali, kembali batinnya berbicara. Tapi siapakah kita ini yang bisa menentukan nasib, kita hanya bisa pasrah. Sekian lama dia berada di sana, baru sekarang rasa damai itu datang. Rasa marah pada Tuhan, marah pada keadaan, berganti menjadi rasa syukur untuk hidup yang pernah dicecapi. Kadang pahit, tetapi dia masih bisa mengingat saat-saat bahagia, saat tawanya masih lebar. Kenangan itu yang membuat dia masih bisa bertahan untuk terus meneruskan hidup ini. Biarkanlah Tuhan yang menentukan hidupnya, kita manusia hanya bisa pasrah.
Ya Tuhan, dingin sekali ini, akhirnya dia bergumam sendiri. Ah, sudah lama dia tidak menyebut nama Tuhan. Saat paling putus asa, dia hampir tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Tetapi hari ini beda, Tuhan rasanya dekat sekali. Tuhan sayang sama saya, yakinnya berkali-kali. Ini memang sudah jalannya dari Tuhan. Saya pasrah ya Tuhan, gumamnya di sela-sela doa.
"Utari Kirana!!"
Ah! Dia tersentak kaget. Lalu 2 orang wanita menghampiri, salah seorang dari mereka membawa map. Mereka juga diikuti oleh 2 orang pria lain yang berseragam polisi.
"Apakah benar Anda bernama Utari Kirana?"
Dia menelan ludah sebelum menjawab. "Iya, benar."
"Anda didakwa atas pasal pembunuhan berencana atas suami Anda sendiri pada tanggal 7 Oktober 2005. Untuk itu Anda dikenakan hukuman mati. Ada permintaan terakhir?"
Seulas senyum menghiasi bibirnya. Matanya memandang jauh ke balik jeruji besi, ke arah jendela, dengan titik-titik hujan cantik.
"Saya ingin berada di luar sana", tunjuknya sambil menunjuk ke arah jendela. "Saya ingin merasakan hujan", sambungnya lagi.
Kedua wanita itu saling berpandangan.
No comments:
Post a Comment