Thursday, June 12, 2014

Gegap Gempita Pilpres 2014

2004. Kita flashback. Saya baru masuk kuliah. Tidak dapat kartu pemilih, dan tidak ikut pemilihan presiden.
Mari flashback ke tahun 2009. Saat itu saya masih kuliah, lagi koas, setahun sebelum menamatkan profesi dokter. Pilpres berlangsung, calonnya ada tiga. Mega-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto. Saya tidak terlalu peduli dengan pilpres tersebut, selain karena masih sibuk, saya melihat ketiga calon pasangan ini tidak "baru", artinya "oohh..mereka toh. Ada mantan presiden, mantan jenderal, mantan wapres, dan mantan gubernur BI. Siapapun yang menang, pasti tidak banyak bawa perbedaan, karena toh sudah pernah tau mereka.

2014.
Pilpres lagi, kali ini calonnya ada dua. Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Apa yang beda?
Gegap gempita.
Harapan baru.
Optimisme.
Kebebasan berpendapat
Mari lihat apa yang membuat saya merasa pilpres ini berbeda.
Media sosial seperti Facebook, twitter, instagram, path, dan lainnya sangat menggurita di Indonesia dalam 5 tahun terakhir. Kita termasuk pengguna twitter terbanyak di dunia, facebook lebih banyak lagi. Informasi berseliweran, entah benar atau tidak. Semua orang bebas bikin artikel, entah fakta entah fiksi. Semua orang bisa menyampaikan pendapatnya, dan langsung bisa disanggah atau ditanggapi orang lain. Masing-masing kandidat dipuji, diuji, dihujat, dihina secara fisik, dikulik-kulik masa lalunya, keluarganya, agamanya, pendidikannya. Lebih seru karena bukan hanya menilai kedua kandidat dari visi masa depan bangsa yang mereka tawarkan, kita juga menggugat mereka dari masa lalunya. Inilah yang saya bilang sebagai gegap gempita. Google keyword Jokowi capres atau Prabowo capres, hasilnya akan ada ratusan artikel. Semua ingin ambil bagian dalam pilpres ini. Gegap gempita.
*
Dari empat nama di atas, ada satu yang baru. Selama ini beliau "hanyalah" walikota Solo, tapi periode kedua di Solo, beliau menang 90% suara rakyat Solo, tanpa kampanye jor-joran. Selama menjabat tidak pernah ambil gaji. Publik ingin tahu. Siapa ini pejabat negara yang mendobrak pakem lama pejabat harus dilayani. Setelah itu beliau jadi calon gubernur ibukota. Menang pula. Orang Solo menang di ibukota, siapa yang menyangka kan? Ada yang bilang beliau "hanya" produk ciptaan media, media darling, tapi kenapa 90% rakyat Solo percaya dia, dan 40sekian% rakyat Jakarta percaya dia? Tentu bukan cuma karena puja puji media.
Sekarang Jokowi jadi salah satu calon presiden. Harapan baru menurut saya, dobrak pakem lama bahwa ketua partailah yang harus jadi capres. Bahwa yang berduitlah yang punya kesempatan jadi calon penguasa negeri. Jokowi adalah representasi mimpi anak bangsa, siapapun bisa bercita-cita jadi calon presiden, walaupun kamu bukan anak menteri, jendral bintang tiga, atau trah darah biru para pejuang kemerdekaan. Ini harapan baru, menurut saya. Dan semakin membuat pilpres kali ini, beda.
*
Demokrasi yang kita nikmati sekarang adalah harga mahal yang dibayar dengan perjuangan kakak-kakak aktivis, kelompok masyarakat di tahun 1998. Saya masih SMP, yang saya ingat Jakarta hancur lebur waktu itu, ada mahasiswa yang ditembak mati, harga barang meroket, mama papa saya bingung mau dibawa kemana kami kalo Indonesia rubuh hanya tinggal nama. Tapi tidak, kita tetap di bumi Indonesia. Walaupun presiden-presiden selanjutnya belum bisa mencapai kemakmuran (kemiskinan masih banyak, masih ada yang tidak sekolah karena biaya, masih ada kematian ibu, dan korupsi masih mendarah daging), kita harus dan harus terus menyalakan harapan bahwa Indonesia, tanah tumpah darah kita ini, akan berada di kolom negara maju nantinya.
Apa bisa maju kalo cuma presidennya yang usaha sendiri?
Tidak.
Anies Baswedan bilang, kekayaan Indonesia sebenarnya adalah manusianya, rakyatnya, we, the people. Kalau kita tidak memulai duluan, berjanji mendukung siapapun presiden terpilih kita nanti, Indonesia akan tetap jalan di tempat, kawan.
Buat sekarang? Telaah lah calon kalian masing-masing. Rekam jejak masa lalu itu penting, tapi bukan yang utama. Masa lalu telah membentuk karakter para calon ini, dan saya yakin mereka telah belajar dari itu. Lihatlah mereka dari apa yang mereka tawarkan buat bangsa ini. Kemana arah kapal besar bermuatan 250juta orang ini akan mereka nakhodai. Menuju maju? Atau mundur? Telaah mereka tentang bagaimana mengatasi kematian ibu, bagaimana memajukan pendidikan, bagaimana mereka berantas dan mencegah korupsi.
Akhir kata, selamat memilih 9 Juli nanti. Calon presiden adalah manusia, bukan Tuhan. Mereka akan mengecewakan, jadi siap-siap. Saya sendiri akan sepenuhnya mendukung siapapun yang terpilih nanti. Karena ketika dia diangkat sumpah sebagai presiden nanti, dia bukan lagi calon presiden saya, atau kamu, tapi dia adalah Presiden Indonesia.

-ika fairuza, jam 4 pagi-